Panggil saja aku Ade, panggilan
sehari-hari meski aku bukan anak bontot. Aku murid SMU kelas 3. Aku
tinggal di sebuah perumahan di Jakarta. Daerahnya mirip-mirip di PI
deh, tapi bukan perumahan “or-kay” kok. Sekitar beberapa bulan lalu,
rumah kontrakan kosong di sebelah kiri rumahku ditempati oleh keluarga
baru.
Awalnya mereka jarang kelihatan, namun
sekitardua minggu kemudian mereka sudah cepat akrab dengan
tetangga–tetangga sekitar. Ternyata penghuninya seorang wanita dengan
perkiraanku umurnya baru 30-an, anak perempuannya dan seorang PRT. Nama
lengkapnya aku tidak tahu, namun nama panggilannya Tante Yana. Anaknya
bernama Anita, sepantaran denganku, siswi SMU kelas 3. Ternyata Tante
Yana adalah janda seorang bulekalau tidak salah, asal Perancis.
Sikapnya friendly, gampang diajak ngobrol. Tapi, yang paling utama
adalah penampilannya yang “mengundang”. Rambutnya ikal di bawah
telinga. Kulitnya coklat muda. Bodinya tidak langsing tapi kalau
dilihat terus, malah jadi seksi. Payudaranya juga besar. Taksiranku
sekitar 36-an.
Yang membikin mengundang adalah
Tante Yana sering memakai baju sleeveless dengan celana pendek sekitar
empat jari dari lutut. Kalau duduk, celananya nampak sempit oleh
pahanya. Wajahnya tidak cantik–cantik amat, wajah ciri khas Indonesia,
tipe yang disuka orang-orang bule. Seperti bodinya, wajahnya juga kalau
diperhatikan, apalagi kalau bajunya agak “terbuka”, malah jadi
muka–muka ranjang gitu deh. Dari cara berpakaiannya aku mengira kalau
Tante Yana ituhypersex. Kalau Anita, kebalikan ibunya. Wajahnya cantik
Indo, dan kulitnya putih. Rambutnya hitam kecoklatan, belah pinggir
sebahu. Meski buah dadanya tidak terlalu besar, kecocokan pakaiannya
justru membuat Anita jadi seksi. Nampaknya aku terserang sindrom
tetangga sebelah nih.
Berhari-hari berlalu, nafsuku
terhadap Tante Yana semakin bergolak sehingga aku sering nekat ngumpet
di balik semak-semak, onani sambil melihati Tante Yana kalau sedang di
luar rumah. Tapi terhadap Anita, nafsuku hanya sedikit, itu juga karena
kecantikannya dan kulit putihnya. Nafsu besarku kadang-kadang membuatku
ingin menunjukkan batangku di depan Tante Yana dan onani didepan dia.
Pernah sesekali kujalankan niatku itu, namun pas Tante Yana lewat,
buru-buru kututup “anu”-ku dengan baju, karena takut tiba-tiba Tante
Yana melapor sama ortu. Tapi, kenyataannya berbeda. Tante Yana justru
menyapaku, (dan kusapa balik sambil menutupi kemaluanku), dan pas di
depan pagar rumahnya, ia tersenyum sinis yang menjurus ke senyuman
nakal. “Ehem.. hmm..” dengan sorotan mata nakal pula. Sejenak aku
terbengong dan menelan ludah, serta malah tambahnafsu.
Kemudian, pada suatu waktu,
kuingat sekali itu hari Rabu. Saat aku pulang kuliah dan mau membuka
pagar rumah, Tante Yana memanggilku dengan lembut, “De, sini dulu..
Tante bikinin makanan nih buat papa-mamamu.” Langsung saja kujawab,
“Ooh, iya Tante..” Nafasku langsung memburu, dan dag dig dug. Setengah
batinku takut dan ragu-ragu, dan setengahnya lagi justru menyuruh
supaya “mengajak” Tante Yana. Tante Yana memakai baju sleeveless hijau
muda, dan celana pendek hijau muda juga. Setelah masuk ke ruang
tamunya, ternyata Tante Yana hanya sendirian, katanya pembantunya lagi
belanja. Keadaan tersebut membuatku semakin dag dig dug. Tiba-tiba
tante memanggilku dari arah dapur, “De, sini nih.. makanannya.” Memang
benar sih, ada beberapa piring makanan di atas baki sudah Tante Yana
susun.
Saat aku mau mengangkat
bakinya, tiba-tiba tangan kanan Tante Yana mengelus pinggangku
sementara tangan kirinya mengelus punggungku. Tante Yana lalu
merapatkan wajahnya di pipiku sambil berkata, “De, mm.. kamu.. nakal
juga yah ternyata..” Dengan tergagap-gagap aku berbicara, “Emm.. ee..
nakal gimana sih Tante?” Jantungku tambah cepat berdegup. “Hmm hmm..
pura-pura nggak inget yah? Kamu nakal.. ngeluarin titit, udah gitu
ngocok-ngocok..”Tante Yana meneruskan bicaranya sambil meraba-raba pipi
dekat bibirku. Kontan saja aku tambah gagap plus kaget karena Tante
Yana ternyata mengetahuinya. Itulah sebabnya dia tersenyum sinis dan
nakal waktu itu. Aku tambah gagap, “Eeehh? Eee.. itu..” Tante Yana
langsung memotong sambil berbisik sambil terus mengelus pipiku dan
bahkan pantatku. “Kamu mau yah sama Tante? Hmm?” Tanpa banyak
omong-omong lagi, tante langsung mencium ujung bibir kananku dengan
sedikit sentuhan ujung lidahnya.
Ternyata benar perkiraanku,
Tante Yana hypersex. Aku tidak mau kalah, kubalas segeraciumannya ke
bibir tebal seksinya itu. Lalu kusenderkan diriku di tembok sebelah
wastafel dan kuangkat pahanya ke pinggangku. Ciuman Tante Yana sangat
erotis dan bertempo cepat. Kurasakan bibirku dan sebagian pipiku basah
karena dijilati oleh Tante Yana. Pahanya yang tadi kuangkat kini
menggesek-gesek pinggangku. Akibat erotisnya ciuman Tante Yana, nafsuku
menjadi bertambah. Kumasukkan kedua tanganku ke balik bajunya di
punggungnya seperti memeluk, dan kuelusi punggungnya. Saat kuelus
punggungnya, Tante Yana mendongakkan kepalanya dan terengah. Sesekali
tanganku mengenai tali BH-nya yang kemudian terlepas akibat gesekan
tanganku. Kemudian Tante Yana mencabut bibirnya dari bibirku, menyudahi
ciuman dan mengajakkuuntuk ke kamarnya.
Kami buru-buru ke kamarnya
karena sangat bernafsu. Aku sampai tidak memperhatikan bentuk dan isi
kamarnya, langsung direbah oleh Tante Yana dan meneruskan ciuman.
Posisi Tante Yana adalah posisi senggama kesukaanku yaitu nungging.
Ciumannya benar-benar erotis. Kumasukkan tanganku ke celananya dan aku
langsung mengelus belahan pantatnya yang hampir mengenai belahan
vaginanya. Tante Yana yang hyper itu langsung melucuti kaosku dengan
agak cepat. Tapi setelah itu ada adegan baru yang belum pernah kulihat
baik di film semi ataupun di BF manapun. Tante Yana meludahi dada
abdomen-ku dan menjilatinya kembali. Sesekali aku merasa seperti ngilu
ketikalidah Tante Yana mengenai pusarku. Ketika aku mencoba mengangkat
kepalaku, kulihat bagian leher kaos tante Yana kendor, sehingga buah
dadanya yang bergoyang-goyang terlihat jelas. Kemudian kupegang
pinggangnya dan kupindahkan posisinya ke bawahku. Lalu, kulucuti
kaosnya serta beha nya, kulanjutkan menghisapi puting payudaranya.
Nampak Tante Yana kembali mendongakkan kepalanya dan terengah sesekali
memanggil namaku.
Sambil terus menghisap dan
menjilati payudaranya, kulepas celana panjangku dan celana dalamku dan
kubuang ke lantai. Ternyata pas kupegang “anu”-ku, sudah ereksi dengan
level maksimum. Sangat keras dan ketika kukocok-kocok sesekali mengenai
dan menggesek urat-uratnya. Tante Yana pun melepas celana-celananya dan
mengelusi bulu-bulu dan lubang vaginanya. Ia juga meraup sedikit mani
dari vaginanya dan memasukkan jari-jari tersebut ke mulutku. Aku
langsung menurunkan kepalaku dan menjilati daerah “bawah” Tante Yana.
Rasanya agak seperti asin-asinditambah lagi adanya cairan yang keluar
dari lubang “anu”-nya Tante Yana. Tapi tetap saja aku menikmatinya. Di
tengah enaknya menjilat-jilati, ada suara seperti pintu terbuka namun
terdengarnya tidak begitu jelas. Aku takut ketahuan oleh pembantunya
atau Anita.
Sejenak aku berhenti dan
ngomong sama Tante Yana, “Eh.. Tante..” Ternyata tante justru
meneruskan “adegan” dan berkata, “Ehh.. bukan siapa-siapa.. egghh..”
sambil mendesah. Posisiku kini di bawah lagi dan sekarang Tante Yana
sedang menghisap “lollypop”. Ereksikusemakin maksimum ketika bibir dan
lidah Tante Yana menyentuh bagian-bagian batangku. Tante Yanamengulangi
adegan meludahi kembali. Ujung penisku diludahi dan sekujurnya dijilati
perlahan. Bayangkan, bagaimana ereksiku tidak tambah maksimum?? Tak
lama, Tante Yana yang tadinya nungging, ganti posisi berlutut di atas
pinggangku. Tante Yana bermaksud melakukan senggama. Aku sempat kaget
dan bengong melihat Tante Yana dengan perlahan memegang dan mengarahkan
penisku ke lubangnya layaknya film BF saja. Tapi setelah ujungnya masuk
ke liang senggama, kembali aku seperti ngilu terutama di bagian
pinggang dan selangkanganku dimana kejadian itusemakin menambah nafsuku.
Tante mulai menggoyangkan
tubuhnya dengan arah atas-bawah awalnya dengan perlahan. Aku merasa
sangat nikmat meskipun Tante Yana sudah tidak virgin. Di dalam liang
itu, aku merasa adacairan hangat di sekujur batang kemaluanku. Sambil
kugoyangkan juga badanku, kuelus pinggangnya dan sesekali buah dadanya
kuremas-remas. Tante Yana juga mengelus-elus dada dan pinggangku sambil
terus bergoyang dan melihatiku dengan tersenyum. Mungkin karena nafsu
yang besar, Tante Yana bergoyang sangat cepat tak beraturan entah itu
maju-mundur atau atas bawah. Sampai-sampai sesekali aku mendengar suara
“Ngik ngik ngik” dari kaki ranjangnya. Akibat bergoyang sangat cepat,
tubuh Tante Yana berkeringat. Segera kuelus badannya yang berkeringat
dan kujilatitanganku yang penuh keringat dia itu.
Lalu posisinya berganti lagi,
jadinya aku bersandar di ujung ranjang, dan Tante Yana menduduki
pahaku. Jadinya, aku bisa mudah menciumi dada dan payudaranya. Juga
kujilati tubuhnya yang masih sedikit berkeringat itu, lalu aku
menggesekkan tubuhku yang juga sedikit berkeringat kedada Tante Yana.
Tidak kupikirkan waktu itu kalau yang kujilati adalah keringat karena
nafsu yang terlalu meledak. Tak lama, aku merasa akan ejakulasi. “Ehh..
Tante.. uu.. udaahh..” Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku,
Tante Yana sudah setengah berdiri dan nungging di depanku. Tante Yana
mengelus-elus dan mengocok penisku, dan mulutnya sudah ternganga dan
lidahnya menjulur siap menerima semprotan spermaku. Karena kocokan
Tante Yana, aku jadi ejakulasi. “Crit.. crroott.. crroott..” ternyata
semprotan spermaku kuhitung sampai sekitar tujuh kali dimana setiap
kencrotan itu mengeluarkan sperma yang putih, kental dan banyak.
Sesekali jangkauan kencrotannya panjang, dan mengenai rambut Tante
Yana. Mungkin ada juga yang jatuh ke sprei. Persis sekali film BF.
Kulihat wajah Tante Yana sudah
penuh sperma putih kental milikku. Tante Yana yang memanghyper, meraup
spermaku baik dari wajahnya ataupun dari sisa di sekujur batangku, dan
memasukkan ke mulutnya. Setelah itu, aku merasa sangat lemas. Staminaku
terkuras oleh Tante Yana. Aku langsung rebahan sambil memeluk Tante
Yana sementara penisku masih tegak namuntidak sekeras tadi.
Sekitar seminggu berlalu
setelah ML sama Tante Yana. Siang itu aku sedang ada di rumah hanya
bersama pembantu (orang tuaku pulangnya sore atau malam, adikku juga
sedang sekolah). Sekitar jam satu-an, aku yang sedang duduk di kursi
malas teras, melihat Tante Yana mau pergi entah kemana dengan mobilnya.
Kulihat Anita menutup pagar dan ia tidak melihatku. Sekitar 10
menitkemudian, telepon rumahku berdering. Saat kuangkat, ternyata Anita
yang menelepon. Nada suaranya agak ketus, menyuruhku ke rumahnya.
Katanya ada yang ingin diomongin. Di ruang tamunya, aku duduk
berhadapan sama Anita. Wajahnya tidak seperti biasanya, terlihat jutek,
judes, dan sebagainya. Berhubung dia seperti itu, aku jadi salah
tingkah dan bingung mau ngomong apa.
Tak lama Anita mulai bicara duluan dengan nada ketus kembali,
“De, gue mau tanya!”
“Hah? Nanya apaan?” Aku kaget dan agak dag dig dug.
“Loe waktu minggu lalu ngapain sama nyokap gue?” Dia nanya langsung tanpa basa-basi.
“Ehh.. minggu lalu? Kapan? Ngapain emangnya?”
Aku pura-pura tidak tahu dan takutnya dia mau melaporkan ke orang tuaku.
“Aalahh..
loe nggak usah belagak bego deh.. Emangnya gue nggak tau? Gue baru
pulang sekolah, gue liat sendiri pake mata kepala gue.. gue intip dari
pintu, loe lagi make nyokap gue!!”
Seketika
aku langsung kaget, bengong, dan tidak tahu lagi mau ngapain, badan
sudah seperti mati rasa. Batinku berkata, “Mati gue.. bisa-bisa gue
diusir dari rumah nih.. nama baik ortu gue bisa jatoh.. mati deh gue.”
Anita pun masih meneruskan omongannya,
“Loe napsu sama nyokap gue??”
Anita
kemudian berdiri sambil tolak pinggang. Matanya menatap sangat tajam.
Aku cuma bisa diam, bengong tidak bisa ngomong apa-apa. Keringat di
leher mengucur. Anita menghampiriku yang hanya duduk diam kaku beku
perlahan masih dengan tolak pinggang dan tatapan tajam. Pipiku sudah
siap menerima tamparan ataupun tonjokan namun untuk hal dia akan
melaporkannya ke orang tuaku dan aku diusir tidak bisa aku pecahkan.
Tapi, sekali lagi kenyataan sangat berbeda. Anita yang memakai kaos
terusan yang mirip daster itu, justru membuka ikatan di punggungnya dan
membukakaosnya. Ternyata ia tidak mengenakan beha dan celana dalam.
Jadi di depanku adalah Anita yang bugil. Takutku kini hilang namun
bingungku semakin bertambah. “Kalo gitu, loe mau juga kan sama gue?”
Anita langsung mendekatkan bibir seksi-nya ke bibirku. Celana pendekku
nampak kencang di bagian “anu”.
Kini yang kurasakan bukan
ciuman erotis seperti ciuman Tante Yana, namun ciuman Anita yang lembut
dan romantis. Betapa nikmatnya ciuman dari Anita. Aku langsung
memeluknya lembut. Tubuh putihnya benar-benar mulus. Bulu vaginanya
sekilas kulihat coklat gelap. Sesegera mungkin kulepas celana-celanaku
dan Anita membuka kaosku. Lumayan lama Anita menciumiku dengan
posisimembungkuk. Kukocok-kocok penis besarku itu sedikit-sedikit. Aku
langsung membisikkannya, “Nit, kita ke kamarmu yuk..!” Anita menjawab,
“Ayoo.. biarlebih nyaman.” Anita kurebahkan di ranjangnya setelah
kugendong dari ruang tamu. Seperti ciuman tadi, kali ini suasananya
lebih lembut, romantis dan perlahan. Anita sesekali menciumi dan agak
menggigit daun telingaku ketika aku sedang mencumbu lehernya. Anita
juga sesekali mencengkeram lenganku dan punggungku. Kaki kanannya
diangkat hingga ke pinggangku dan kadang dia gesek-gesekkan. Dalam
pikiranku, mungkin kali ini ejakulasiku tidak selama seperti sama Tante
Yana akibat terbawa romantisnya suasana.
Dari sini aku bisa tahu bahwa
Anita itu tipe orang romantis dan lembut. Tapi tetap saja nafsunya
besar. Malah dia langsung mengarahkan dan menusukkan penisku ke liang
senggamanya tanpa adegan-adegan lain. Berhubung Anita masih virgin,
memasukkannya tidak mudah. Butuh sedikit dorongan dan tahan sakit
termasuk aku juga. Wajah Anita nampak menahan sakit. Gigi atasnya
menggigit bibir bawahnya dan matanya terpejam keras persis seperti
keasaman makan buah mangga atau jambu yang asem. Tak lama, “Aaahh..
aa.. aahh..” Anita berteriak lumayan keras, aku takutnya terdengar
sampai keluar. Selaput perawannya sudah tertembus. Aku mencoba
menggoyangkan maju-mundur di dalam liang yang masih sempit itu. Tapi,
aku merasa sangat enak sekali senggama di liang perawan. Anita juga
ikutan goyang maju-mundur sambil meraba-raba dadaku dan mencium
bibirku. Ternyata benar perkiraanku. Sedikit lagi aku akan ejakulasi.
Mungkin hanya sekitar 6 menit. Meski begitu, keringatku pun tetap
mengucur. Begitupun Anita.
Dengan agak menahan ejakulasi,
gantian kurebahkan Anita, kukeluarkan penisku lalu kukocokdi atas
dadanya. Mungkin akibat masih sempit dan rapatnya selaput dara Anita,
batang penisku jadi lebih mudah tergesek sehingga lebih cepat pula
ejakulasinya. Ditambah pula dalam seminggu tersebut aku tidak onani,
nonton BF, atau sebagainya. Kemudian, “Crit.. crit.. crott..” kembali
kujatuhkan spermaku di tubuh orang untuk kedua kalinya. Kusemprotkan
spermaku di dada dan payudaranya Anita. Kali ini kencrotannya lebih
sedikit, namun spermanya lebih kental. Bahkan ada yang sampai mengenai
leher dan dagunya. Anita yang baru pertamakali melihat sperma lelaki,
mencoba ingin tahu bagaimana rasanya menelan sperma. Anita meraup
sedikit dengan agakcanggung dan ekspresi wajahnya sedikit menggambarkan
orang jijik, dan lalu menjilatnya.
Terus, Anita berkata dengan
lugu, “Emm.. ee.. De.. kalo ‘itu’ gimana sih rasanya?” sambil menunjuk
ke kejantananku yang masih berdiri tegak dan kencang. “Eh.. hmm hmm..
cobain aja sendiri..” sambil tersenyum ia memegang batang kemaluanku
perlahan dan agak canggung. Tak lama, ia mulai memompa mulutnya
perlahan malu-malu karena baru pertama kali. Mungkin ia sekalian
membersihkan sisa spermaku yang masih menetes di sekujur batangku itu.
Kulihat sekilas di lubang vaginanya, ada noda darah yang segera
kubersihkan dengan tissue dan lap. Setelah selesai, aku yang sedang
kehabisan stamina, terkulai loyo di ranjang Anita, sementara Anita juga
rebahan di samping. Kami sama-sama puas, terutama aku yang puas
menggarap ibu dan anaknya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar